0


Sebagian orang bingung ketika berobat, ada yang menyarankan ke dokter atau ke ahli herbal atau harus ngotot pakai thibun nabawi. Kebingungan bertambah ketika ada berita kalau ke dokter nanti dikasi obat kimia yang berbahaya, belum lagi metodenya kebanyakan dari orang kafir. Begitu juga dengan herbal, ada info nanti herbalnya palsu, tidak terstandar, dicampur “obat dewa” kortikosteroid, dan bisa jadi ahli herbalnya jadi-jadian, baru pelatihan  satu dua kali udah buka praktek, apa ada pengalaman mendiagnosis? Begitu juga dengan info thibbun nabawi.  Bisa jadi orangnya belum menguasai penuh, apalagi harus ada unsur keimanan baru sembuh, misalnya hanya baca Al-Fatihah bisa sembuh dari kalajengking. Belum lagi sebagian kecil kalangan yang tidak bertanggung jawab memasukkan semua metode ke dalam thibbun nabawi, padahal itu bukan thibbun nabawi (misalnya ramuan tertentu).
Jadi pilih yang mana? Ke mana kita harus berobat
Dokter, ahli herbal  dan hali thibbun nawabi sama baiknya asalkan pengobatan dilakukan oleh ahlinya. Untuk dokter, maka mereka sudah ada pendidikan resmi, bertahap dan diterapkan di semua negara dengan standar yang hampir sama. Mereka sudah belajar dan diuji apakah sudah layak untuk melakukan pengobatan atau tidak.
Sedangkan untuk herbalis, sampai sekarang belum ada resmi dan diakui oleh pemerintah, misalnya sekolah herbal atau perguruan tinggi dengan jurusan herbal. Dengan kurikulum terstandar dan teruji. Inilah yang membuat herbal agak kurang diminati oleh orang. Akan tetapi cukup banyak kita temukan herbalis yang benar-benar pengalaman, sudah belajar dengan waktu yang cukup lama walapun tidak formal dan sudah berpengalaman. Untuk herbalis seperti ini, baik juga untuk pengobatan, bahkan ada metode pengobatan yang belum ditemukan dalam kedokteran modern ternyata ada metode pengobatannya oleh herbalis terpercaya. Begitu juga dengan ahli thibbun nabawi.

Demikian jugalah yang ditetapkan oleh agama Islam yang mulia ini. Praktek kedokteran harus dilakukan oleh ahlinya dan sudah berpengalaman
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”[8]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,
أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ، وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له
“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.”[9]
Ulama sekaligus dokter terkenal di zamannya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu berkata,
فإيجابُ الضمان على الطبيب الجاهل، فإذا تعاطى عِلمَ الطِّب وعمله، ولم يتقدم له به معرفة
“Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya[10]
Yang pada intinya Semuanya baik asalkan Ahli, Berilmu Dan Berpengalaman sesuai dengan apa yang mereka geluti
allahua’alam

Bogor : Rabu, 26 Jumadal Ula 1438 H/22 Februari 2017 M
Saudara  : Irfan fauzi

Posting Komentar

 
Top

Like this blog? Keep us running by whitelisting this blog in your ad blocker.

This is how to whitelisting this blog in your ad blocker.

Thank you!

×